Agus Setiaman


Perkembangan Media Massa dan Media Literasi Di Indonesia
November 7, 2008, 10:09 am
Filed under: KAJIAN MEDIA MASSA

Agus Setiaman dan Slamet Mulyana

Abstrak

Dalam upaya menyikapi pengaruh buruk dan hegemoni media massa, saat ini berkembang pemikiran tentang media literasi. Kajian ini merupakan gerakan penting di kalangan kumpulan-kumpulan advokasi di negara maju untuk mengendalikan kepentingan dan pengaruh media massa dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat serta membantu kita merancang tindakan dalam menangani pengaruh tersebut.

Seorang pengguna media yang mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Kajian literasi media menyediakan pengetahuan, informasi dan statistik tentang media dan budaya, serta memberi pengguna media dengan satu set peralatan untuk berfikir dengan kritis terhadap idea, produk atau citra yang dismpaikan dan dijual oleh isi media massa.

Kata Kunci: media massa, hegemoni media, media literasi


Pendahuluan

Everett M. Rogers dalam bukunya Communication Technology; The New Media in Society (dalam Mulyana, 1999), mengatakan bahwa dalam hubungan komunikasi di masyarakat, dikenal empat era komunikasi yaitu era tulis, era media cetak, era media telekomunikasi dan era media komunikasi interaktif. Dalam era terakhir dikenal media komputer, videotext dan teletext, teleconferencing, TV kabel, dan sebagainya.

Sedangkan Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media B The Extensions of Man (1999), mengemukakan ide bahwa A medium is massage@. McLuhan menganggap media sebagai perluasan manusia dan bahwa media yang berbeda-beda mewakili pesan yang berbeda-beda. Media juga menciptakan dan mempengaruhi cakupan serta bentuk hubungan-hubungan dan kegiatan-kegiatan manusia. Pengaruh media telah berkembang dari individu kepada masyarakat. Dengan media, setiap bagian dunia dapat dihubungkan menjadi desa global.

Pengaruh media yang demikian besar kepada masyarakat menghantarkan pemikiran McLuhan untuk menyampaikan Teori Determinime Teknologi yang mulanya menuai banyak kritik dan menebar berbagai tuduhan. Ada yang menuduh bahwa McLuhan telah melebih-lebihkan pengaruh media. Tetapi dengan kemajuan teknologi komunikasi massa, media memang telah sangat maju. Saat ini, media ikut campur tangan dalam kehidupan kita secara lebih cepat daripada yang sudah-sudah dan juga memperpendek jarak di antara bangsa-bangsa. Ungkapan Mcluhan tidak dapat lagi dipandang sebagai sebuah ramalan belaka. Sebagai sebuah perbandingan perkembangan teknologi media dewasa ini; dibutuhkan hampir 100 tahun untuk berevolusi dari telegraf ke teleks, tetapi hanya dibutuhkan 10 tahun sebelum faks menjadi populer. Enam atau tujuh tahun yang lalu, internet masih merupakan barang baru tetapi sekarang mereka-mereka yang tidak tahu menggunakan internet akan dianggap ketinggalan!

Di masyarakat dapat disaksikan bahwa teknologi komunikasi terutama televisi, komputer, dan internet telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat). Setiap saat kita semua menyaksikan realitas baru di masyarakat, dimana realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dan peta analog atau simulasi-simulasi dari suatu masyarakat tertentu yang hidup dalam media dan alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang di mana manusia bisa hidup di dalamnya. Media massa merupakan salah satu kekuatan yang sangat mempengaruhi umat manusia di abad 21. Media ada di sekeliling kita, media mendominasi kehidupan kita dan bahkan mempengaruhi emosi serta pertimbangan kita.


Keberadaan media di mana-mana dan juga periklanan telah mengubah pengalaman sosial dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Media merupakan unsur penting dalam pergaulan sosial masa kini. Kebudayaan masyarakat tidak terlepas dari media, dan budaya itu sendiri direpresentasikan dalam media.

Sekarang ini, eksploitasi pers dan media interaktif telah menuju ke arah penciptaan supremasi media yang mengancam keberadaan cara pandang objektif dan ruang publik. Hal ini sesuai dengan pandangan teori hegemoni; peran media bukan lagi sebagai pengawas (watchdog) pemerintah, tetapi justru menopang keberadaan kaum kapitalis dengan menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka.

Strinati menyatakan bahwa AYbudaya pop dan media massa merupakan subjek dari produksi, reproduksi, dan transformasi hegemoni melalui institusi masyarakat sipil yang mencakup area produksi budaya dan konsumsiY institusi-institusi tersebut meliputi pendidikan, keluarga, kelompok gereja, dan lain-lain@. Media dapat menjadi kunci untuk mempengaruhi khalayak melalui informasi yang diberikan dan ide-ide yang ditanamkan. Melalui proses ini dapat dilihat peran media secara ideologi. Hal semacam ini dominan dilakukan oleh negara-negara Barat yang membentuk pesan-pesan berbau hegemoni.

Di sisi lain, keberadaan media massa dewasa ini dinilai telah dijejali oleh informasi atau berita-berita yang menakutkan, seperti kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, dan sebagainya. Bahkan media massa, kini menjadi penyebar pesan pesimisme. Akibatnya, media massa justru sangat menakutkan bagi masyarakat. Di negara-negara berkembang, banyak sekali dijumpai kenyataan bahwa harapan-harapan yang diciptakan oleh pesan komunikasi dalam media massa menimbulkan frustrasi, karena tidak terpenuhi harapan yang dipaparkan media itu.

Dalam upaya menyikapi pengaruh media massa seperti itu, saat ini berkembang pemikiran tentang media literasi. Kajian ini merupakan gerakan penting di kalangan kumpulan-kumpulan advokasi di negara maju untuk mengendalikan kepentingan dan pengaruh media massa dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat serta membantu kita merancang tindakan dalam menangani pengaruh tersebut. Dalam kata lain, kajian ini membantu individu menjadi melek media.


Tujuan dasar literasi media ialah mengajar khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu. Seseorang pengguna media yang mempunyai literasi media atau melek media akan berupaya memberi reaksi dan menilai sesuatu pesan media dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Kajian literasi media menyediakan pengetahuan, informasi, dan statistik tentang media dan budaya, serta memberi pengguna media dengan satu set peralatan untuk berfikir dengan kritis terhadap idea, produk atau citra yang disampaikan dan dijual oleh isi media massa.

Hegemoni Media Massa

Memasuki abad ke 21, industri media tengah berada di dalam perubahan yang cepat. Kerajaan-kerajaan media mulai membangun diri dengan skala yang besar. Merger ataupun pembelian media lain dalam industri media terjadi di mana-mana dengan nilai perjanjian yang sangat besar. Semakin lama bisnis media semakin besar dan melibatkan hampir seluruh outlet media yang ada dengan kepemilikan yang makin terkonsentrasi. Masyarakat mulai tenggelam dalam dunia yang dipenuhi oleh media. Masalahnya kemudia adalah: Apakah masyarakat terlayani dengan informasi yang aktual, beragam, dan sesuai dengan kepentingan mereka oleh industri ini, atau perkembangan yang luar biasa ini hanya untuk meningkatkan keuntungan bagi Asegelintir@ orang yang terlibat dalam industri ini?

Media, menurut sudut pandang model pasar (Croteau dan Hoynes, 2001), dilihat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan masyarakat berdasarkan atas hukum permintaan dan persediaan. Model ini memperlakukan media layaknya barang dan jasa lainnya. Bisnis media beroperasi dalam apa yang disebut sebagai Adual product market@, pasar dengan dua produk. Secara bersamaan menjual dua jenis Aproduk@ yang sama sekali berbeda pada dua jenis pembeli yang sama sekali berbeda. Dalam kenyataan, konsumen yang direspon oleh perusahaan media adalah pengiklan, bukan orang yang membaca, menonton, atau mendengarkan media. Ini tentu saja dapat menjelaskan bagaimana acara-acara di televisi misalnya, tampil hampir seragam. Apabila hasil riset menyatakan banyak orang yang menontonnya maka pengiklan akan memasang iklan pada slot acara tersebut, yang berarti pemasukan, sehingga tidak ada alasan bagi stasiun televisi untuk mengubahnya.


Bila dilihat dari sudut pandang lainnya, dengan menggunakan model ruang publik, media seterusnya lebih dari hanya sekedar alat pengejar keuntungan. Media merupakan sumber informasi yang utama dimana informasi harus beredar dengan bebas, tanpa intervensi pemerintah yang menghalangi aliran ide. Sudut pandang ini melihat orang lebih sebagai anggota masyarakat daripada konsumen, maka dari itu media seharusnya Amelayani@ masyarakat tersebut.

Pertumbuhan media begitu pesat pada abad ke-20 dengan sejumlah regulasi dan deregulasi yang ikut mewarnai perkembangan industri ini. Bila pada awal abad ke-20 konglomerasi media sangat dibatasi, keadaan pada akhir abad ini berubah drastis dimana terjadi akusisi dan merger dalam skala yang besar. Pertumbuhan yang terjadi ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi sehingga outlet media semakin beragam. Media yang menggunakan teknologi yang lebih awal dipaksa untuk berevolusi untuk menghadapi media yang berteknologi lebih baru. Contohnya peluncuran koran USA Today pada tahun 1982 yang menampilkan berita dalam ukuran kecil dengan banyak foto-foto berwarna serta dihiasi dengan tampilan grafis merupakan cara koran untuk mengimitasi gaya dan format televisi.

Seiring dengan berjalannya waktu, difasilitasi dengan lingkungan regulasi yang semakin longgar, perusahaan media yang besar bergabung atau membeli perusahaan media lainnya untuk membuat konglomerasi media yang lebih besar dan juga global. Dilihat dari sudut pandang Apasar@, hal ini wajar dalam rangka untuk memperbesar penjualan, efisiensi dalam produksi, dan memposisikan diri terhadap kompetitor. Namun bila dilihat dari sudut pandang ruang publik, hal ini tidak menjamin terlayaninya kepentingan publik (public interest). Jumlah outlet media yang banyak belum tentu menjamin terpenuhinya content yang menjadi kepentingan publik.

Tren yang berlaku pada struktur industri media akhir-akhir ini adalah Pertumbuhan, Integrasi, Globalisasi, dan Pemusatan Kepemilikan. Proses restrukturisasi pada industri media telah mengizinkan para konglomerat untuk menjalankan strategi-strategi yang diarahkan untuk memaksimalkan keuntungan, mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. Perubahan dalam struktur media serta prakteknya berpengaruh nyata pada isi media. Pengejaran keuntungan menjuruskan media pada homogenisasi dan trivialisasi (membuat sesuatu yang tidak penting). Isi pada media akan sering berbenturan dan menyesuaikan pada kepentingan bisnis yang mengejar keuntungan.

Hegemoni, menurut pandangan Gramsci (1971), tidak hanya menunjukkan dominasi dalam kontrol ekonomi dan politik saja, namun juga menunjukkan keampuan dari suatu kelas sosial yang dominan untuk memproyeksikan cara mereka dalam memandang dunia. Jadi, mereka yang mempunyai posisi di bawahnya menerima hal tersebut sebagai anggapan umum yang sifatnya alamiah.


Budaya yang tersebar merata di dalam masyarakat pada waktu tertentu dapat diinterpretasikan sebagai hasil atau perwujudan hegemoni, perwujudan dari penerimaan Akonsesual@ oleh kelompok-kelompok gagasan subordinat, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok dominan tersebut. Menurut Gramsci, kelompok dominan tampaknya bukan semata-mata bisa mempertahankan dominasi karena kekuasaan, bisa jadi karena masyarakat sendiri yang mengizinkan.

Dalam hal ini, media massa merupakan instrumen untuk menyebarkan dan memperkuat hegemoni dominan. Peranan media adalah membangun dukungan masyarakat dengan cara mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka dengan menciptakan sebuah pembentukan dominasi melalui penciptaan sebuah ideologi yang dominan. Menurut paradigma hegemonian, media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa, seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit, dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik.

Singkatnya, hegemoni dapat dikatakan sebagai reproduksi ketaatan, kesamaan pandangan, dengan cara yang lunak. Lewat media massa lah hegemoni dilakukan. Media secara perlahan-lahan memperkenalkan, membentuk, dan menanamkan pandangan tertentu kepada khalayak. Tidak hanya dalam urusan politik dan ekonomi, dapat juga menyangkut masalah budaya, kesenian, bahkan untuk hal-hal yang ringan seperti gaya hidup.

Konsep-konsep hegemoni yang dipaparkan di atas mungkin masih agak membingungkan, karena itu akan kita kupas penerapan hegemoni media dalam contoh yang lebih ringan.


Amerika Serikat dengan Hollywood-nya telah berhasil menjadi kiblat perfilman internasional. Sebagian besar film yang kita konsumsi merupakan buatan Amerika. Kondisi ini tidak disia-siakan oleh mereka untuk menyetir pandangan masyarakat dunia terhadap negara mereka. Amerika Serikat berusaha membangun pandangan bahwa negara mereka adalah negara terkuat, superhero, penyelamat dunia. Dengan pandainya, mereka melakukan hegemoni ini melalui film-film mereka yang ditonton sebagian besar masyarakat dunia. Coba perhatikan film-film science fiction seperti Armageddon, Independence Day, Mars Attack, dan lain sebagainya. Di sini Amerika Serikat selalu digambarkan sebagai sosok Ajagoan@. Usaha-usaha mereka digambarkan bukan hanya untuk menyelamatkan bangsanya sendiri, tetapi untuk menyelamatkan dunia. Dan sudah dipastikan, mereka berhasil melakukan usaha penyelamatan tersebut. Kita sebagai penonton seolah-olah terdoktrin bahwa bangsa Amerika adalah pelindung dunia, dan setiap tindakan yang dilakukan adalah untuk kepentingan seluruh bangsa di dunia.

Contoh lainnya dalam hal fashion. Sebuah gaya busana baru dikatakan Angetrend@ jika selebriti atau kalangan yang diekspos media memakai gaya busana tersebut. Ternyata selama ini tidak ada yang berhak menyandang gelar trendsetter karena kita hanya mencontoh gaya busana yang terus-menerus muncul di media, kemudian saling mengikuti satu sama lain. Trend tersebut bersemi untuk sementara, sampai media mengekspos gaya busana yang baru. Media lah yang menjadi komandan what=s in and what=s out. Benarkah media berpengaruh sebegitu kuat? Taruhan, saat ini dijamin tidak ada mahasiswi (diasumsikan mahasiswi melek fashion) yang berani ke kampus dengan gaya rambut mengembang, sweater besar, rok mini, dan ikat kepala warna-warni, dimana saat ini media selalu memunculkan remaja putri dengan rambut lurus berponi, kaus ketat, jeans boot cut, dan sepatu hak tinggi.

Hegemoni media juga berhasil mengubah cara khalayaknya mengkonstruksikan konsep, contoh mudahnya konsep ketampanan dan kecantikan. Setahun yang lalu, ketika film Meteor Garden mengalami sukses besar, tampaknya para remaja putri memiliki kesepakatan baru mengenai konsep Atampan@. Pada masa tersebut, pria yang dikatakan tampan adalah pria berwajah oriental, dengan rambut semi gondrong berlayer. Begitu juga ketika produsen sabun Lux secara bergantian menampilkan bintang-bintang iklan yang cantik, berkulit putih, agak ke-bule-bule-an (kecuali Dian Sastro), tentunya banyak pria bersepakat bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang berkulit putih, berambut panjang, keturunan Eropa atau Amerika.

Contoh lain yang populer di Indonesia adalah ketika sinetron-sinetron remaja berhasil menciptakan pergeseran nilai dalam kehidupan remaja di kota-kota besar. Saat ini siapa yang mengajarkan orang tua untuk memberi izin anaknya yang masih duduk di SMP untuk menyetir mobil sendiri ke sekolah, bahkan dengan ikhlas membuatkan SIM tembak untuk anaknya? Siapa yang mengajarkan bahwa anak-anak usia sekolah saat ini boleh-boleh saja keluar malam dan pulang pagi? Siapa lagi kalau bukan sinetron remaja yang terus- menerus berusaha menampilkan bahwa anak SMP yang menyetir mobil sendiri dan pulang pagi adalah suatu kewajaran.

Perkembangan Media Massa Di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan media massa di Indonesia cukup menakjubkan. Data yang ada, seperti dikutip Sendjaja (2000), menunjukkan kondisi sebagai berikut:


1. Di bidang pertelevisian, selain jaringan TVRI saat terdapat 10 (sepuluh) stasiun televisi swasta, yaitu RCTI, TPI, SCTV, ANTEVE, INDOSIAR, METRO TV, TRANSTV, LATIVI, GLOBAL TV, DAN TV 7. Di samping itu kini telah beroperasi 7 televisi berlangganan satelit, 6 televisi berlangganan terrestrial, dan 17 televisi berlangganan kabel.

2. Dunia penyiaran radio pun mengalami kemajuan meskipun tidak sepesat televisi. Hingga akhir tahun 2002, terdapat 1188 Stasiun Siaran Radio di Indonesia. Jumlah itu terdiri atas 56 stasiun RRI dan 1132 buah Stasiun Radio Swasta.

3. Perkembangan industri dan bisnis penyiaran ini tampaknya telah mendorong tumbuh pesatnya bisnis >Rumah Produksi= (Production House/PH). Sebelum krisis ekonomi, tercatat ada 298 buah perusahaan PH yang beroperasi di mana sekitar 80% di antaranya berada di Jakarta. Pada saat krisis, khususnya antara tahun 1997-1999, jumlah PH yang beroperasi menurun drastis sampai sekitar 60%. Dalam satu tahun terakhir (2003), bisnis PH secara perlahan kembali bangkit yang antara lain didorong oleh peningkatan jumlah Televisi Swasta. Kebutuhan TV Swasta akan berbagai acara siaran, mulai acara hiburan sampai acara informasi dan pendidikan, banyak diproduksi oleh PH lokal.

4. Dunia bisnis media penerbitan, khususnya surat kabar dan majalah, juga mengalami peningkatan khususnya dalam hal kuantitas. Pada tahun 2000, menurut laporan MASINDO, terdapat 358 media penerbitan. Jumlah tersebut terdiri atas 104 surat kabar, 115 tabloid, dan 139 majalah. Hal menarik dalam penerbitan media massa cetak ini adalah semakin beragamnya pelayanan isi yang disesuaikan dengan karakteristik kebutuhan segmen khalayak pembacanya. Dengan kata lain, >spesialisasi= telah ditempuh sebagai upaya menembus situasi kompetisi yang semakin ketat.

Dengan perkembangan seperti di atas, baik dalam jumlah maupun jenisnya, mustahil semua media massa menguasai seluruh pasar yang ada. Sebaliknya, kecil sekali kemungkinan hanya satu media massa dapat menguasai seluruh pasar, dalam arti memenuhi segala macam tuntutan pasar, karena tuntutan pasar juga sangat bervariasi.

Kompetisi telah menjadi kata kunci dalam kehidupan media massa saat ini. Keadaannya menjadi semakin kompleks, karena mencakup kompetisi tiga kelompok yaitu: Pertama, antara media cetak baik dari jenis yang sama maupun yang berbeda jenis; Kedua, antara media elektronik baik audio (radio) maupun audio-visual (televisi); serta Ketiga, antara media cetak di satu pihak dengan media elektronik di pihak lain.


Dalam memperebutkan pangsa pasar, kompetisi media massa tidak hanya meliputi aspek isi, penyajian berita atau bentuk liputan lainnya, tetapi juga aspek periklanan. Hal tersebut dipersulit pula oleh perubahan tuntutan pasar (konsumen). Juga perubahan dalam cara, gaya dan strategi kompetisi yang digunakan masing-masing media massa sebagai respons terhadap tuntutan pasar.

Konsep Media Literasi

Secara sederhana, media literasi pada dasarnya merupakan kepedulian masyarakat terhadap dampak buruk dari media, khususnya media massa. Perkembangan teknologi komunikasi, khususnya berkenaan dengan keberadaan media massa, di samping memberikan manfaat untuk kehidupan manusia ternyata juga memberikan dampak lain yang kurang baik. Beberapa dampak tersebut antara lain (1) Mengurangi tingkat privasi individu, (2) Meningkatkan potensi kriminal, (3) Anggota suatu komunitas akan sulit dibatasi mengenai apa yang dilihat dan didengarnya, (4) internet akan mempengaruhi masyarakat madani dan kohesi sosial, serta (5) Akan overload-nya informasi (Fukuyama dan Wagner, 2000).

Tujuan dasar media literasi ialah mengajar khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan oleh media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik di balik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siapa yang bertanggungjawab atas pesan atau idea yang diimplikasikan oleh pesan atau citra itu.

Berdasarkan hasil Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Penanggulangan Dampak Negatif Media Massa, yaitu 21 Century Literacy Summit yang diselenggarakan di Jerman pada 7-8 Maret 2002, diperoleh gambaran kesepakatan yang disebut 21 Century in A Convergen Media Word. Kesepakatan tersebut, seperti disampaikan Bertelsmann dan AOL Time Warner (2002), menyatakan bahwa media literasi mencakup:

1. Literasi teknologi; kemampuan memanfaatkan media baru seperti internet agar bisa memiliki akses dan mengkomunikasikan informasi secara efektif.

2. Literasi informasi; kemampuan mengumpulkan, mengorganisasikan, menyaring, mengevaluasi dan membentuk opini berdasarkan hal-hal tadi.

3. Kreativitas media; kemampuan yang terus meningkat pada individu di manapun berada untuk membuat dan mendistribusikan isi kepada khalayak berapapun ukuran khalayak.


4. Tanggung jawab dan kompetensi sosial; kompetensi untuk memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi publikasi secara on-line dan bertanggung jawab atas publikasi tersebut, khususnya pada anak-anak

Sementara menurut Centre For Media Literacy (2003) upaya untuk memampukan khalayak media untuk mengevaluasi dan berpikir secara kritis terhadap konten media massa, mencakup:

1. Kemampuan mengkritik media.

2. Kemampuan memproduksi media

3. Kemampuan mengajarkan tentang media

4. Kemampuan mengeksplorasi sistem pembuatan media.

5. Kemampuan mengeksprolasi berbagai posisi

6. Kemampuan berpikir kritis atas isi media

Menurut David Buchingham, agar media literasi menjadi dapat berjalan dengan optimal maka diperlukan adanya pendidikan media untuk literasi media, yang mencakup:

a. Pendidikan media berkenaan dengan pendidikan tentang berbagai (full range) media. Tujuannya untuk mengembangkan literasi berbasis luas, yang tak hanya berkenaan dengan media cetak, tapi juga sistem simbolik citra dan suara.

b. Pendidikan media berkenaan dengan pembelajaran tentang media, bukan pengajaran melalui media.

c. Pendidikan media bertujuan untuk mengembangkan baik pemahaman kritis maupun partisipasi aktif, sehingga memampukan anak muda sebagai konsumen media membuat tafsiran dan penilaian berdasarkan informasi yang diperolehnya; selain itu memampukan anak muda untuk menjadi produser media dengan caranya sendiri sehingga menjadi partisipan yang berdaya di masyarakatnya. Pendidikan media adalah soal pengembangan kemampuan kritis dan kreatif anak muda.

Sementara itu, sesuai dengan Deklarasi Unesco mengenai pendidikan media (Dokumen Grundwald)/UNESCO Declaration of Media Education (2006) diperoleh beberapa konsep penting mengenai pendidikan media. Konsep tersebut adalah:


1. Memulai dan mendorong program-program pendidikan media secara komprehensif Bmulai dari tingkat pra-sekolah sampai universitas, dan pendidikan orang dewasaB yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan mendorong perkembangan kesadaran kritis, dan konsekuensinya, melahirkan kompetensi yang lebih besar di kalangan pengguna media cetak dan elektronik. Idealnya, program seperti ini mencakup analisis produk media, penggunaan media sebagai sarana ekspresi kreatif, serta memanfaatkan secara efektif dan berpartisipasi dalam saluran media;

2. Mengembangkan pelatihan untuk para guru dan tokoh masyarakat (intermediaries) untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap media, dan melatih mereka dengan metode pengajaran yang tepat, yang memperhitungkan penguasaan yang sudah dimiliki namun masih bersifat fragmentaris terhadap media yang dimiliki banyak siswa;

3. Mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan manfaat pendidikan media, dalam bidang-bidang seperti psikologi, sosiologi dan ilmu komunikasi;

4. Mendukung dan memperkuat tindakan-tindakan yang dilakukan dan mencerminkan pandangan UNESCO serta bertujuan untuk mendorong kerjasama internasional dalam pendidikan media.

Lebih jauh ada beberapa pengertian yang lebih spesifik tentang media literasi yang dapat dirujuk untuk memahami konsep ini. Pengertian tersebut antara lain:

1. Media Literacy Online Project B College of Education University of Oregon at Eugene, menyatakan bahwa:

AMedia Literacy is concerned with helping students develop an informed and critical understanding of the nature of the mass media, the techniques used by them, and the impact of the techniques. More spesifically, it is education that aims to increase students= understanding and enjoyment of how the media work, how they produce meaning, how they are organized, and how they construct reality. Media literacy also aims to provide students with the ability to create media products@.

2. Hobbs dan Frost, The Acquisition of Media Literacy Skills among Australian Adolescents dalam Journal of Broadcasting and Electronic Media, menyatakan:

AMedia Literacy is the ability to access, analyze, evaluate and communicate messages in wide variety of forms@.

3. Committee of Public Education dalam Pediatrics Vol. 104/2 Agustus 1999, menyatakan bahwa:

AMedia Literacy is the study and analysis of mass media@.

4. Tapio Varis dalam Aproaches to Media Literacy and e-Learning, 2000, menyatakan bahwa:


AMedia Literacy is the ability to communicate competently in all media, print and electronic, as well as to access, analyze and evaluate the powerful images, words and sounds that make up our contemprorary mass media culture. These skills of media literacy are essential for our future as individuals and as members of a democratic society@.

Media Literasi Indonesia

Belum ada hasil penelitian yang menyebutkan tingkat literasi (melek media) di Indonesia. Tingkat literasi biasanya berhubungan dengan tingkat pendidikan dan daya kritis masyarakat. Makin tinggi pendidikan dan daya kritis seseorang makin tinggi tingkat literasinya. Memang hipotesis seperti itu masih perlu diuji di banyak tempat dan di berbagai kelompok masyarakat.

Menyaksikan perilakunya, khalayak terbelah dua, khalayak pasif dan khalayak aktif. Jumlah khalayak pasif jauh lebih besar ketimbang yang aktif. Mereka itu seperti diam saja menerima informasi dari media massa, bahkan tidak jarang tampak seperti tidak berdaya. Ini ada kaitannya dengan Teori Jarum Suntik. Begitu disuntik oleh pesan komunikasi, isinya segera menjalar ke seluruh pelosok tubuh. Karena keperkasaan media massa, seolah-olah masyarakat tidak berdaya menghadapinya. Mereka itu mendapatkan pesan komunikasi seperti masuk dari satu telinga segera dikeluarkan lewat telinga yang lain. Mereka yang aktif selain berinteraksi sesamanya juga mengritisi media massa tempat asal informasi. Mereka ini sadar-media atau sering disebut melek-media. Sedikitnya, jika memperhatikan teori di atas, tubuh pasien (khalayak) mengadakan ”perlawanan,” tidak menyerah begitu saja pada obat dan jarum suntiknya.

Di dalam ”melek-media,” khalayak aktif tidak sekedar sebagai pemerhati atau pengamat tapi aktif melakukan sesuatu jika media massa telah melakukan penyimpangan. Penyimpangan ini bisa mengenai informasinya yang salah, kurang tepat, tidak seimbang, dan semacamnya. Jika itu yang terjadi maka khalayak dapat melakukan protes. Protes dilindungi oleh Undang-undang No.40/1999, dua hak yang berhubungan dengan itu adalah Hak Koreksi dan Hak Jawab.

Hak Jawab adalah hak seseorang/sekelomplok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Pasal 5 Ayat 2 UU 40/1999) menyebutkan, pers wajib melayani Hak Jawab. Sering pers tidak segera melayani Hak Jawab. Kalau pun melayaninya, kadang-kadang hanya di rubrik Surat Pembaca.


Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Pasal 5 Ayat 3 UU 40/1999 menyebutkan, pers wajib melayani Hak Koreksi. Hak ini sebenarnya sebagaian tumpang tindih dengan Hak Jawab, hampir selalu dilayani pers di Surat Pembaca.

Pelanggaran atas Hak Jawab oleh kalangan pers, selain berupa pelanggaran kode etik, juga pelanggaran atas UU No. 40/1999 yang berimplikasi pada denda. Pelanggaran kode etik tidak berakibat hukum, tanpa sanksi yang berat. Pelanggaran atas UU 40 adalah tindak pidana yang berakitan dengan hukuman. Pasal 18 mengingatkan antara lain: Perusahaan pers yang melanggar antara lain Pasal 5 Ayat 2 YY. dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Media massa yang cukup banyak melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi adalah media cetak. Media elektronika, lebih-lebih televisi, kita jarang menyaksikan melayani kedua hak tersebut dengan baik. Boleh jadi, sajiannya sudah bagus, boleh jadi tidak tersedia ruang dan waktu untuk itu.

Namun, masyarakat belum banyak yang tahu bahwa mereka mempunyai kedua hak tersebut. Lebih daripada itu, bahkan sebagian besar warga masyarakat tidak tahu, kemerdekaan pers adalah hak azasi warga negara. Sosialisasi tentang ini perlu terus-menerus diberikan.

Selain mengenai isi dan sikap media massa yang dikritisi, bisa juga fungsi media massa yang dikritisi. Misalnya saja tentang fungsi media yang menyimpang atau kurang dijalankan dengan semestinya. Kontrol sosialnya kurang, atau bahkan berlebihan dan semacamnya. Tidak jarang pers kurang menjalankan fungsi watchdog-nya. Fungsi ini penting karena membuat pihak lain yang dikontrol atau diawasi/dijaga menjadi lebih hati-hati dalam bertindak.

Kekuasaan (pemerintah, DPR, pengadilan, parpol, dll) perlu dijaga dan diawasi oleh pers. Lalu siapa yang mengawasi pers? Masyarakatlah yang perlu mengontrol pers, salah satunya adalah media watch. Lalu siapa pula yang mengontrol media watch? Makin banyak pihak yang mengawasi, makin baik tampilan yang diawasi. Sesama pengawas juga akan meningkatkan mutunya.


Ada yang selalu mengatakan, media watch itu untuk pemberdayaan masyarakat. Media watch tidak perlu ditujukan kepada media massa yang dikontrolnya. Mereka sudah punya bagian litbang di dalam manajemennya. Pendapat tersebut tidak salah. Tapi, akan lebih penting manakala kontrol media watch juga ditujukan kepada media yang dikontrolnya. Berapa banyak sebaran media watch yang ditujukan kepada masyarakat? Berapa besar hasil pemberdayaannya? Jumlahnya sangat sedikit. Jika hasil media watch juga ditujukan kepada media yang bersangkutan ditambah komunikasi yang intensif dengan pimpinan media itu, hasilnya akan lebih bermanfaat.

Sekelompok kecil pemerhati melakukan pengawasan terhadap media watch. Tampaknya media watch juga tidak lepas dari framing, sekecil apa pun penyimpangannya. Misalnya, Pantau agak radikal dan Jurnal Media Watch and Consumer Center (Habibie Center) agak ”menyenangkan” Republika.

Khalayak aktif yang sangat reaktif, tapi tanpa konsep literasi, dapat mengarah kepada tindakan yang brutal. Kita mendengar ada ormas pemuda yang menduduki kantor redaksi surat kabar di Surabaya (Jawa Pos). Ada pula yang datang beramai-ramai ke kantor redaksi lalu menuntut agar redaksi meminta maaf tiap hari dimuat surat kabar yang bersangkutan. Kasus ini melibatkan sejumlah sopir taksi terhadap pemberitaan surat kabar di Jakarta (Rakyat Merdeka). Juga tindakan Satgas PDI-P dan Banser pada Rakyat Merdeka menyangkut karikatur yang dimuatnya. Mereka, boleh jadi bukanlah khalayak aktif dalam arti yang benar. Sangat mungkin, mereka sama sekali tidak mengerti tentang literasi itu.

Orang-orang media watch adalah khalayak aktif dengan tingkat literasi yang tinggi. Mereka menerbitkan hasil pantauannya di dalam medianya yang sengaja dibuat untuk itu. Cukup banyak orang yang mengikuti media hasil media watch tersebut dan mengritisinya. Mereka ini termasuk khalayak super aktif.#

Daftar Pustaka

<!–[if supportFields]>ADVANCE \d12<![endif]–><!–[if supportFields]><![endif]–>De Fleur, Melvin L, Sandra Ball B Rokeach. 1988. Teori Komunikasi Massa. Kuala Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.

Djiwandono, J. Soedjati. 1994. AAnalisis dan Strategi Kompetisi antar Media Massa@ disampaikan pada Forum Diskusi Alternatif Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atmajaya Yogyakarta.

MacBride, S, 1983, Aneka Suara, Satu Dunia, Jakarta: PN Balai Pustaka-Unesco.

Mahayana, Dimitri, 1999, Menjemput Masa Depan. Bandung: Remaja Rosdakarya.


McLuhan, Marshal, 1999, Understanding Media, The Extension Of Man. London: The MIT Press.

Mulyana, Deddy, 1999, Nuansa-Nuansa Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Piliang, Yasraf Amir, 2004, Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisik. Yogyakarta: Jalasutra.

Sendjaja, Sasa Djuarsa, 2000. Paradigma Baru dalam Perkembangan Ilmu Komunikasi disampaikan pada Orasi Ilmiah Dies Natalis Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung.

Strinati, Dominic. 2003. Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta: Bentang.

Tester, Keith, 2003, diterjemahkan Muhammad Syukri, Media, Budaya, Moralitas. Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose dan Kreasi Wacana.


2 Comments so far
Leave a comment

Saya dulu mahasiswa Bapak saat S1 di Unpad, saat ini saya sedang S2 Ilmu Komunikasi di UI. Saya senang sekali, ketika saya sedang mencari bahan tentang media literacy saya ‘dipertemukan’ Google dengan blog Bapak. ^_^

Comment by Shinta Galuh

terima kasih, kalau tulisan saya bisa bantu shinta, semoga sukses yah salam

Comment by agussetiaman




Leave a reply to Shinta Galuh Cancel reply